Tafsir Maudhu’i (Tafsir tematik)
Oleh: Muhsin Hariyanto
Tafsir Tematik atau yang juga dikenal dengan Tafsir Maudhu’i merupakan salah satu dari jenis tafsir yang banyak diminati. Model Penafsiran ini banyak diminati oleh umat Islam, karena di samping mudah dipahami, juga sangat sesuai dengan kebutuhan zaman. Hingga kini jenis penafsiran ini terus mengalami perkembangan, khususnya di kalangan akademisi. Tulisan ini di samping akan mengkaji secara historis, juga memaparkan aspek teknis-metodologisnya. Sehingga para pembaca akan memahami urgensinya dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Quran.
Mukadimah
Banyak cara yang ditempuh para mufassir al-Quran untuk menyajikan kandungan dan pesan-pesan firman Allah. Ada yang menyajikannya sesuai urutan ayat-ayat sebagaimana tertulis dalam mushhaf, misalnya dari ayat pertama surat al-Fâtihah hingga ayat terakhir, kemudian beralih ke ayat pertama surat kedua (al-Baqarah) hingga berakhir pula, dan seterusnya. Pesan dan kandungan al-Quran dihidangkan dengan rinci dan luas mencakup aneka persoalan yang muncul dalam pikiran sang mufassir, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan ayat yang ditafsirkannya. Cara ini dikenal dengan sebutan tafsir tahlîli.
Ada juga yang memilih topik tertentu kemudian menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tersebut di manapun ayat ditemukan. Selanjutnya disajikan kandungan dan pesan-pesan yang berkaitan dengan topik yang dipilihnya tanpa terikat dengan urutan ayat dan surat sebagaimana tersebut dalam mushhaf dan tanpa menjelaskan hal-hal yang tidak berkaitan dengan topik walau hal yang berkaitan itu secara tegas dikemukakan oleh ayat dibahasnya. Cara ini dikenal dengan sebutan tafsir tematik.
Tulisan yang sangat sederhana ini tidak akan mengupas dan macam cara penafsiran ayat-ayat al-Quran sebagaimana dikemukakan di atas, tetapi hanya memfokuskan pemaparan pada cara penafsiran yang kedua saja, yaitu tafsir tematik. Tafsir tematik ini dalam referensi berbahasa Arab disebut tafsir maudhû’i.
Definisi
Tafsir tematik dalam bahasa Arab disebut tafsir maudhû’i. Tafsir maudhû’i terdiri dari dua kata, yaitu kata tafsir dan kata maudhû’i. Kata tafsir termasuk bentuk masdar (kata benda) yang berarti penjelasan, keterangan, uraian (Ma’lûf, 1927: 613). Kata maudhû’i dinisbatkan kepada kata maudhû’, isim maf’ûl dari fi’il madhi wadha’a yang memiliki makna beraneka ragam, yaitu yang diletakkan, yang diantar, yang ditaruh (al-Marbawi, 1350: 391), atau yang dibuat-buat, yang dibicarakan/tema/topik (al-Marbawi, 1350: 1004). Makna yang terakhir ini (tema/topik) yang relevan dengan konteks pembahasan di sini. Secara harfiah tafsir maudhû’i dapat diterjemahkan dengan tafsir tematik, yaitu tafsir berdasarkan tema atau topik tertentu.
Pengertian tafsir tematik (maudhû’i) secara terminologi banyak dikemukakan oleh para pakar tafsir yang pada prinsipnya bermuara pada makna yang sama. Salah satu definisi maudhû’i/tematik yang dapat dipaparkan di sini ialah definisi yang dikemukakan Abdul Hayyi al-Farmawi sebagai berikut, yaitu pola penafsiran dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Quran yang mempunyai tujuan yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik dan menyusun berdasarkan masa turun ayat serta memperhatikan latar belakang sebab-sebab turunnya, kemudian diberi penjelasan, uraian, komentar dan pokok-pokok kandungan hukumnya (al-Farmawi, 1977: 52).
Definisi tafsir maudhû’i ini memberikan indikasi bahwa mufassir yang menggunakan metode dan pendekatan tematik dituntut harus mampu memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan topik yang dibahas, maupun menghadirkan dalam pikiran pengertian kosa kata ayat dan sinonimnya yang berhubungan dengan tema yang ditetapkan. Mufassir menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk al-Quran menyangkut persoalan yang dibahas, menguraikan satu kisah atau kejadian membutuhkan runtutan kronologis peristiwa. Mengetahui dan memahami latar belakang turun ayat (bila ada) tidak dapat diabaikan, karena hal ini sangat besar pengaruhnya dalam memahami ayat-ayat al-Quran secara benar. Untuk mendapatkan keterangan yang lebih luas, penjelasan ayat, dapat ditunjang dari hadis, perkataan para sahabat, dan lain-lain yang ada relevansinya.
Tafsir tematik memposisikan al-Quran sebagai lawan dialog dalam mencari kebenaran. Mufassir bertanya, al-Quran menjawab. Dengan demikian dapat diterapkan apa yang dianjurkan oleh Ali bin Abi Thalib: اِسْتَنْطِقْ الْقُرْاّنَ artinya : “Ajaklah al-Quran berdialog” (Shihab, 1977: 14). Konsep yang dibawa mufassir dari hasil pengalaman manusia dalam realitas eksternal kehidupan yang mengandung salah dan benar dihadapkan kepada al-Quran (al-Shadr, 1992: 19). Hal ini bukan berarti bahwa mufassir berusaha memaksakan pengalaman manusia kepada al-Quran dengan dengan memperkosa ayat-ayat untuk mengingkari kehendak manusia, melainkan untuk menemukan pandangan al-Quran dalam kapasitasnya sebagai sumber inovasi dan penentu kebenaran Ilahi yang dikaitkan dengan kenyataan hidup.
Kajian Historis Tafsir Tematik
Bila ditelusuri perkembangan tafsir al-Quran dimulai sejak awal pertumbuhannya di masa hidup Rasulullah SAW. Dapat dikatakan bahwa tafsir tematik sudah terwujud, walau hanya sederhana. Upaya mempertemukan beberapa ayat yang semakna atau yang berkaitan dengan masalah tertentu sudah ada dengan munculnya penafsiran ayat al-Quran dengan ayat al-Quran yang lain. Hal ini dapat dimaklumi, sebab al-Quran dalam kapasitasnya sebagai pedoman hidup bagi manusia dan memberi petunjuk tentang ajarannya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan, sehingga kadang-kadang diturunkan ayat yang mujmal, muthlaq, dan umum, tetapi kadang-kadang diturunkan ayat yang terinci, tertentu, dan khusus.
Hal-hal yang diterangkan secara mujmal dalam suatu ayat, lalu dijelaskan secara terinci dalam ayat yang lain. Demikian pula petunjuk yang diberikan secara umum dalam suatu ayat, kadangkala dijelaskan secara khusus dalam ayat yang lain.
Dengan demikian berarti bahwa ayat-ayat al-Quran telah ditafsirkan dengan sumber dari al-Quran sendiri, sehingga dapat diketahui maksud firman Allah itu melalui penjelasan dari firman Allah itu juga dalam ayat yang lain. Karena Allah yang mempunyai firman itulah yang lebih mengetahui maksud yang dikehendakinya daripada yang lain (al-Dzahabi, 1961: 37).
Contoh tafsir tematik/maudhû’i pada masa Nabi Muhammad SAW. Ialah beliau menafsirkan kata ظُلْمٌ dalam QS al-An’âm, 6: 82.
Dengan penafsiran Nabi tersebut berarti beliau telah menanamkan tafsir maudhû’i/tematik dan memberi isyarat bahwa lafal-lafal yang sukar diketahui maksudnya dalam suatu ayat perlu dicari penjelasannya pada lafal-lafal yang terdapat dalam ayat yang lain. Dalam konteks ini, Abdul Hayyi al-Farmawi mengatakan bahwa semua ayat yang ditafsirkan dengan ayat al-Quran adalah termasuk tafsir maudhû’i dan sekaligus merupakan permulaan pertumbuhan tafsir maudhû’i (al-Farmawi, 1977: 54).
Kemudian sesudah itu tumbuh pula bibit-bibit tafsir maudhû’i dalam beberapa halaman kitab-kitab tafsir yang besar menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, antara lain: al-Bayân fi Aqsâm al-Qur’ân oleh Ibn al-Qayyim, Mufrâdat al-Qur’ân oleh al-Râghib, dan Ahkâm al-Qur’ân oleh al-Jashshâs (al-Farmawi, 1977: 55), dan lain sebagainya.
Kitab-kitab tafsir tersebut belum dimaksudkan secara khusus sebagai tafsir maudhû’i yang berdiri sendiri, walau demikian setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa bentuk tafsir maudhû’i ini sudah bukan merupakan bentuk baru. Sebab yang merupakan hal yang baru adalah perhatian para mufassir terhadap metode penafsiran tematik yang dapat dibedakan dari metode penafsiran yang lain, bahkan dapat dipisahkan sebagai metode tematik yang berdiri sendiri.
Kitab-kitab tafsir yang sudah banyak membahas masalah-masalah tertentu rupanya masih dianggap belum memadai untuk menjawab aneka ragam permasalahan dalam masyarakat. Di sini para mufassir mendapat inspirasi baru dan bermunculan karya-karya tafsir yang menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun beberapa ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik tersebut, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan dari masalah tersebut menurut pandangan al-Quran. Metode tafsir maudhû’i ini di Mesir pertama kali dicetuskan oleh.Ahmad Sayyid al-Kumi, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo sampai tahun 1981 (Shihab, 1995: 114).
Beberapa kitab tafsir yang menggunakan metode tematik tersebut antara lain: Pertama, Al-Futûhât al-Rahbâniyah fi al-Tafsîr al- Maudhû’i li al-Ayât al-Qur’âniyah, karya.al-Husaini Abu Farhah, dan Al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû’i, karya.Abdul Hayyi al-Farmawi.
Prosedur Penafsiran
Prosedur penafsiran yang harus ditempuh oleh para mufasir dalam tafsir tematik dapat dirinci sebagai berikut :
Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
Melacak dan menghimpun masalah yang dibahas tersebut..
Menyusun runtutan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan ayat-ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang belakang turun ayat atau asbâb al-nuzûlnya (bila ada).
Memahami korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna, sistematik dan utuh (out-line).
Melengkapi penjelasan ayat dengan hadis, riwayat sahabat dan lain-lain yang relevan bila dipandang perlu sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘âm (umum) dan khash (khusus), muthlaq dan muqayyad (dibatasi), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan (al-Farmawi, 1977: 61-62).
Dalam kaitan ini, menurut hemat penulis bahwa permasalahan yang diangkat dalam tafsir tematik ini hendaknya memprioritaskan pada persoalan yang menyentuh masyarakat dan dirasakan secara langsung oleh mereka, sehingga tema yang dipilihnya selalu menarih dan tetap aktual. Untuk itu, para mufassir diharapkan terlebih dahulu mempelajari problem-problem masyarakat, atau ganjalan-ganjalan pemikiran yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban al-Quran, misalnya masalah kemiskinan, keterbelakangan, korupsi, kolusi, kelaparan, kecelakaan, kebakaran, krisis moneter, dan lain sebagainya.
Jenis-jenis Tafsir Tematik
Tafsir tematik bila dilihat dari segi jangkauan temanya ada dua macam, yaitu: Penafsiran terhadap satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat (al-Farmawi, 1977: 61-62).
Rumusan tersebut dipertegas oleh al-Syâthibî dalam al-Muwâfaqât, ia mengatakan: sesungguhnya satu surat meskipun mengandung masalah, merupakan satu kesatuan yang mengacu kepada satu tujuan atau melengkapi tujuan itu, kendatipun mengandung berbagai makna (al- Syâthibî, t.t.: 249).
Cara kajian tafsir tematik model ini dilakukan oleh Muhammad Mahmud Hijazi dalam kitab tafsirnya yang berjudul: al-Tafsîr al-Wâdhih, kemudian diikuti oleh mufassir lain.
Penafsiran dengan cara menghimpun seluruh atau sebagian ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik tertentu untuk dikaitkan yang satu dengan lainnya, lalu diberi penjelasan dari segala seginya, kemudian diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Quran (Shihab, 1995: 114). Tafsir tematik semacam inilah yang lazim dikenal dalam tafsir kontemporer akhir-akhir ini. Contoh tafsir tematik misalnya memilih topik : “Hukum Minum Khamr dalam al-Quran”. Untuk masalah ini, sedikitnya terdapat 4 ayat dari 3 surat dalam al-Quran, yaitu QS al-Baqarah, 2: 219, QS al-Nisâ’, 4: 42, dan QS al-Mâidah, 5: 90-91.
Bila dikumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan haramnya minuman khamr dan ditertibkan sesuai dengan masa turunnya ayat dengan diberi komentar dan penjelasan latar belakang turunnya ayat, dapat disimpulkan bahwa haramnya minuman khamr dalam 4 ayat tersebut merupakan satu kesatuan yang sempurna, yaitu minuman khamr diharamkan secara total, hanya saja tingkat dan proses keharamannya menempuh sistem periodik (al-Tadrîj). Hal ini dimaksudkan untuk memberi pendidikan secara bijaksana.
Contoh tafsir tematik yang berkembang dalam masyarakat antara lain :
Al-Mar’ah fî al-Qur’ân al-Karîm, karya Syaikh Abbâs al-‘Aqqâd.
Al-Ribâ fi al-Qur’ân al-Karîm, Abu A’la al-Maudûdi.
al-Washâyâ fî Sûrah al-Isrâ’, karya, Abdul Hayyi al-Farmawî.
Apabila diperhatikan secara seksama, sebenarnya tafsir tematik termasuk tafsîr bi al-ma’tsûr. Sebab bila ditinjau dari segi sumber penafsirannya diambil dari penjelasan nash-nash al-Quran. Tafsir menggunakan cara memadukan ayat-ayat al-Quran yang membahas satu topik dan mengaitkan makna satu ayat dengan ayat yang lain.
Tafsir ma’tsur merupakan bentuk penafsiran yang paling otentik dan akurat serta dapat menjamin kebenaran. Karena penafsirannya dikembalikan kepada “Yang Mempunyai Firman”, yaitu Allah SWT., dan Allah tentu lebih mengetahui apa yang dikehendaki dari firman-Nya daripada yang lain.
Mengingat tafsir tematik termasuk tafsîr bi al-ma’tsûr, maka dapat dijelaskan bahwa tafsir tematik itu menduduki ranking atau peringkat yang paling tinggi nilainya dari pada bentuk penafsiran lainnya. Hal ini telah diakui oleh semua pakar tafsir tentang keistimewaannya. Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya yang berjudul Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm menyebut-kan: Bila ditanyakan metode tafsir apakah yang paling baik, maka jawabannya, yang paling baik ialah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, sebab hal-hal yang dijelaskan secara global di suatu tempat, kadang-kadang dijelaskan secara rinci di tempat lain (Ibn Katsîr, t.t.: 3).
Al-Zarkasyi juga memberikan komentar bahwa cara penafsiran yang paling sahih dan benar ialah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran (al-Zarkasyi, 1957: 175). Demikian pula Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa yang paling sahih dari metode penafsiran al-Quran ialah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran (Ibn Taimiyyah, 1980: 18). Oleh karena itu, banyak para pakar tafsir akhir-akhir ini cenderung tertarik menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan pendekatan tafsir tematik.
Urgensi Tafsir Tematik
Orang yang mengamati tafsir tematik dengan seksama, akan mengetahui bahwa tafsir itu merupakan satu usaha yang amat berat, tetapi sangat terpuji, karena dapat memudahkan orang dalam memahami dan menghayati ajaran-ajaran al-Quran, dapat melayani siapa saja yang menyelesaikan problem-problem yang dihadapinya, karena pemaparan teks-teks al-Quran diwujudkan dalam bermacam-macam tema atau masalah.
Menurut pendapat Ahmad Sayid al-Kumi, hidup di zaman modern sekarang ini sangat membutuhkan kehadiran corak tafsir tematik. Karena dengan cara kerja yang sedemikian itu memungkinkan seseorang memahami masalah yang dibahas dan segera sampai kepada hakikat masalah dengan jalan singkat, praktis dan mudah. (al-Farmawi, 1977: 71)
Tafsir tematik mempunyai nilai kualitas tafsir yang paling tinggi. Karena seleksi penafsiran harus bermuara kepada kehendak firman Ilahi. Semua gagasan mufassir yang dihasilkan dari pengalaman kehidupan yang mungkin benar dan salah harus dikonsultasikan kepada wawasan Qurani.
Tafsir tematik memegang peranan penting di masa sekarang ini, karena hanya dengan menggunakan metode ini, silabi pelajaran dan mata kuliah tafsir diberbagai tingkatan sekolah formal, baik di tingkat Madrasah Tsanawiyah, ‘Aliyah, dan tingkat Perguruan Tinggi, utamanya Peguruan Tinggi Agama Islam seperti IAIN (Institut Agama Islam Negeri), STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri), PTAIS (Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta) dapat diwujudkan dan dijabarkan dalam bentuk buku-buku pelajaran tafsir, diktat-diktat tafsir sesuai dengan berbagai tema yang diinginkan oleh setiap sekolah dan perguruan tinggi yang bersangkutan, sehingga dapat memperlancar kegiatan belajar-mengajar dan sekaligus dapat menunjang pendidikan Nasional di Negara Republik Indonesia.
Keutamaan-keutamaan Metode Tafsir Tematik
Diantara beberapa keutamaan metode tafsir tematik ini ialah sebagai berikut :
Pertama, menjawab tantangan zaman. Permasalah dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Semakin modern kehidupan, permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit, serta mempunyai dampak yang luas. Hal itu dimungkinkan karena apa yang terjadi pada suatu tempat, pada saat yang bersamaan, dapat disaksikan oleh orang lain di tempat yang lain pula, bahkan peristiwa yang terjadi di ruang angkasa pun dapat dipantau dari bumi. Kondisi seperti inilah yang membuat suatu permasalahan segera merebah ke seluruh masyarakat dalam wakyu yang relatif singkat (Baidan, 1998: 165-166).
Untuk menghadapi permasalahan yang demikian, dilihat dari sudut tafsir al-Quran, tidak dapat ditangani dengan metode-metode penafsiran selain metode tematik. Hal itu dikarenakan kajian metode tematik ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan.
Kedua, praktis dan sistematik. Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Kondisi semacam ini amat cocok dengan kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga mereka seakan-akan tak punya untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar, pada hal untuk mendapatkan petunjuk al-Quran mereka harus membacanya. Dengan adanya tafsir tematik, mereka akan mendapatkan petunjuk al-Quran secara praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif, dan efisien.
Ketiga, membuat pemahaman menjadi utuh. Dengan ditetapkan judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Quran dapat diserap secara utuh. Pemahaman serupa itu sulit menemukannya di dalam metode tafsir yang lain. Maka dari itu, metode tafsir tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas (Baidan, 1998: 167).
Keempat, membuat tafsir menjadi lebih dinamik. Metode tafsir tematik membuat penafsiran al-Quran selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga menimbulkan image di dalam benak pembaca dan pendengarnya bahwa al-Quran senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan strata sosial. Dengan demikian, terasa sekali bahwa al-Quran selalu aktual, tak pernah tertinggal oleh zaman. Dengan tumbuhnya kondisi serupa itu, maka umat tertarik mengamalkan ajaran al-Quran, karena al-Quran mereka rasakan betul-betul dapat membimbing mereka ke jalan yang benar.
Referensin :
Baidan Muhammad Nashruddin., Metodologi Penafsiran al-Quran, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998.
Al-Dzahabi, Muhammad Husain., al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo : Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1961.
Al-Farmawi, Abd al-Hayyi., al-Bidâyah Fî al-Tafsîr al-Maudhû’i, Kairo : al-Hadhârât al-Gharbiyyah, 1977.
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Singapura : Sulaiman Mar’i, t.t.
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah Fî Ushûl al-Tafsîr, Kuwait : Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1980.
Ma’lûf, Louis., Qâmûs al-Munjîd Fî al-Lughah wa al-A’lâm, Beirut : Mathba’ah al-Katulikiyyah, 1927.
Al-Marbawi, Muhammad Idris., Qâmûs al-Marbawî, Mesir: Mushthafâ al-Bâbî al-Halabî, 1350.
Al-Shadr. Muhammad Baqir., Pedoman Tafsir Modern, Jakarta : Risalah Masa, 1992.
Shihab, Muhammad Quraish., Membumikan Ilmu-ilmu al-Quran, Bandung : Mizan, 1995.
——, Wawasan al-Quran, Bandung : Mizan, 1977.
Al-Syathibi, al-Muwâfaqât Fî Ushûl al-Ahkâm, Beirut : Dâr al-Fikr: t.t.